Mimpi itu telah di kunci sedalam sanubari oleh nya. Ya, rasanya terlalu hambar untuk menjadikan yang tak mungkin dalam pikirannya itu menjadi realitas kehidupan untuk sekitar tujuh tahun lagi di masa depannya. Usianya 16, dan yang ia lakukan hanya membawa karung bekas yang sudah robek disana-sini, lusuh, dan berbau masam sama seperti badannya juga sebuah tongkat besi kecil dengan ujung melengkung guna memudahkannya mengumpulkan rezeki.
Dia melamun sepanjang jalan sore itu, menyusuri jalan setapak menuju monumen dengan jam besar di atas nya, di daerah yang penuh hiruk-pikuk keramaian aktifitas perdagangan, sentral Bukittingi, Sumatera Barat. Orang lain seakan tak menyadari kehadirannya, tak memberi tiga detik pandangan pun pada nya, semua sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. sesekali ia memunguti gelas-gelas minuman yang terserak atau bahkan sudah dalam tempatnya sebagai sampah. Sore itu ia mengunjungi sebuah komplek perumahan dengan khas belanda pada arsitekturalnya, hanya untuk mengecek tempat sampah mereka, dan tentunya mengais rezeki dari sampah mereka.
Ia menemukan benda luar biasa di daalam salah satu tempat sampah di sana. Benda itu berwarna hitam, berbentuk seperti sebuah gitar kalau ia tidak salah kira. Tapi yang ini lebih kecil. dan senarnya hanya empat, putus di sana-sini. Ia ingat pernah melihat benda semacam ini di sebuah tayangan layar tancap di dekat rumahnya. Ia suka bermain musik, meskipun ia tidak punya satu pun di antara nya. Dia hanya bernyanyi mendendangkan nyanyian tradisional dengan sesekali memukul-mukul botol bekas guna mengiringi nyanyiannya. setelah yakin bahwa benda ini memang sudah sengaja di buang, dia memungutnya hati-hati, memasukkannya kedalam karung kumuh yang di tangkupkan di pundaknya. Ia membawa nya pulang, ia terus berpikir dan berpikir, mencoba menyusun kembali senar-senar putus pada gitar kecil temuannya itu. Dia mencoba semua nada-nada nya, hingga gitar kecil itu berbunyi merdu saat di petik. Dia terus-terusan memainkan gitar kecil itu, sampai satu minggu kemudian saat sang pengamen jalanan kembali bertemu dengannya, "Itu namanya biola, Yusuf." sang pengamen itu memberitahunya dan mengajarinya cara memainkan biola dengan benar, dia memberi alat penggesek biola itu. dia sangat tertarik dengan alat musik itu, ia memainkannya terus menerus, terdengar sangat merdu di telinganya. dia membuat sebuah melodi sendiri, dia menciptakan lagunya. dia berlatih dan berlatih lagi sampai ia menjadi seorang yang telah ia gantungkan setinggi langit dalam mimpinya, ia gantungkan dan ia kunci dalam-dalam. Biola itu merupakan biola termahal saat ini. Dia bernama Yusuf Rahman, orang biasa memanggilnya Usuf. atau bahkan Usuf si pemulung. Dia telah menjadi seorang pemusik handal sejak usia 22 tahun, ia mampu memainkan sekitar 6 jenis alat musik dengan merdu. ia bahkan menciptakan lagu dan gubahan-gubahannya dalam bahasa minang. Ia seorang pemusik terkenal minang saat ini. Dia menikah dengan seorang penari tradisonal terkenal dari padang, hidup bahagia bersama anak cucunya saat ini.
Mimpinya dulu sudah terkunci, dan usahanya selama ini telah berhasil membuka gembok ketidak mungkinan.
ini buru-buru nge post dadakan tugas sejarah. ceritanya family history. masih rangkain cerita. nanti dilanjutin ok.